
Oleh Lia Fidiana
Judul :
Perempuan Bawang (Kumpulan cerpen)
Pengarang :
Radgi F. Daye
Tanggal terbit : April - 2010
Penerbit :
Lingkar Pena, Jakarta
Tebal :
202 hlm.
Radgi F. Daye, penulis asal Sumatera
Barat, yang lahir di Solok, 11 September 1981 dengan nama asli Ade Efdira.
Kesunyian ladang membuatnya mencintai kata-kata dan pena. Tahun 2005 lulus dari
Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Sastra Universitas Andalas, Padang.
Sejumlah tulisannya pernah dimuat di
berbagai media seperti Singgalang, Padang
Ekspres, Haluan, Mimbar Minang, Annida, Minggu Pagi, Riau Pos, Riau Mandiri,
Lampung Post, Koran Tempo, Media Indonesia, Jurnal Cerpen Indonesia, dan
Kompas. Pernah beberapa kali memenangkan lomba penulisan cerpen dan puisi,
seperti Juara II Lomba Menulis Cerpen majalah Annida (1999), Juara III
Sayembara Penulisan Puisi Dewan Kesenian Sumatra Barat (2005), Juara Harapan I
Lomba Menulis Puisi Online V tingkat Sumatra, Juara I Lomba Menulis Cerpen
Sastra Harian Singgalang (2005), Juara
I Lomba Menulis Cerpen Sabili-FOR US (2006), dan Juara Harapan Lomba Cipta
Puisi Dewan Kesenian Riau (2006).
Baru-baru ini menerbitkan kumpulan cerpen
pertamanya. Berisi 15 cerpen, buku yang merangkum karya Ragdi setelah berkiprah
10 tahun lebih di dunia kepenulisan tersebut diterbitkan Lingkar Pena
Publishing House (LPPH). Rendahnya minat penerbit membukukan kumpulan cerpen
membuat Perempuan Bawang dan Lelaki Kayu cukup istimewa bagi Ragdi.
Apalagi LPPH, penerbit buku itu hanya bersedia menerbitkan satu judul setiap
tahunnya untuk kumpulan cerpen. Dalam cerpen ini, unsur lokal etnisitas Minang
tetap menjadi andalan cerpen-cerpen yang terhimpun. Daerah yang sesuai dengan
asal lelaki asli Minang yang memilih menulis sembari menjadi seorang pendidik
alias guru tersebut.
Melalui berbagai kisah yang disajikan,
pembaca akan menemukan sebuah kisah mengenai kemiskinan, penderitaan, dan
keputusasaan, entah sadar atau tidak, tetap menghadirkan harapan. Harapan bisa
jadi berupa perubahan ke arah yang lebih baik secara material atau spiritual.
Harapan bias juga berup lahirnya kesadaran tentang diri dan kemanusiaan.
Harapan pun adakalanya cukup dengan hadirnya perasaan ikhlas, penuh, sebuah
lingkaran utuh, pada diri sendiri.
Cerpen ini tidak sekedar berisi
hiruk-pikuk dan sesak napas masalah-masalah social dan orang-orang tersaing. Ia
juga mengusung sejumlah cerpen yang bersifat lebih personal. Meskipun demikian,
bukan bearti cerpen-cerpen tersebut menjadi kurang menyesakkan.
sebagian kata-kata yang digunakan
ialah bahasa dari daerah Sumatra Barat yang menjadi ciri khas dari pembuatan
cerpen ini. Meskipun demikian, tidak semua kalangan atau pembaca dapat mengerti
dengan bahasa yang khas tersebut. Dan akan lebih baik lagi bila cerpen tersebut
diberi catatan arti dari bahasa daerah tersebut.
SINOPSIS
Pada
cerpen “Permpuan Bawang” Solok hanya berkedudukan sebagai pelengkap pasar. Ia tidak sepenuhnya menjadi
setting cerita, tetapi sekedar cabikan singkat guna membangun perasaan tentang
betapa tidak bersahabatnya sebuah pasar tradisional kepada warganya. Si ibu
penjual harus tergusur karena kedai sewaan tempatnya berjualan akan dijual oleh
pemilinya. Kalimat “Pasar Solok sepi sekali” pada cerpen tersebut dapatlah
dianggap sebagai sebuah penanda yang mewakili kondisi sepi secara harfiah
maupun metaforis, karena pasar tradisional tidak lagi sehidup masa-masa
sekarang. Senada dengan “Perempuan Bawang”, Solok pada “Lekuk Teluk” juga
memperlihatkan kedudukannya sebagai metafora atas penderitaan. Pada cerpen ini,
Solok memang hadir sebagai “tempat kembali”, sebuah tempat yang semestinya
memiliki dan menawarkan sesuatu, berdaya pikat, mendatangkan kerinduan, juga
haru yang tentu bukan bersumber pada pengalaman pahit. Hanya saja, Solok
ternyata solok bukanlah tempat yang demikian, ia menjadi tempat kembali karena
ada undangan yang berwujud kabar buruk, ada petaka disana. Perjalanan kembali
pun tidak hadir sebagai sesuatu yang tidak menyenangkan, kebergegasan Ilanur,
Adam, dan Kael bukan dipicu oleh kerinduan yang menggebu untuk menjumpai
orang-orang terkasih, tetapi lebih semacam keharusan datang guna memperoleh
kepastian yang bahkan tidak menawarkan rasa damai di akhir cerita itu.
Secara
keseluruhan cerpen “Perempuan Bawang dan
Lelaki Kayu” adalah sebuah kumpulan
cerpen yang muram. Keresahan tumbuh subur di dalamnya, hantu-hantu menemukan
taman bermain yang mengerikan, dan penderitaan tidak pernah kekurangan nutrisi
di dalamnya. Kisah cinta yang gugup, identitas orang kampong yang menggigil
karena deru modernitas, dan tradisi Minangkabau yang meleleh adalah pusaran
yang kuat dalam tema-tema kumpulan cerpen Perempuan Bawang dan Lelaki Kayu.
Dengan alur yang cerdas dan bahasa yang memukau, kisah-kisah di dalam cerpen
ini akan membawa kita ke dalam makna cinta, kemanusiaan, dan keberadaan tradisi
yang sesungguhnya.
0 komentar:
Posting Komentar